Pahlawanku Seorang Pengkhianat?  

Sosok Arung Palakka digambarkan sekilas saja dalam setiap teks sejarah versi pemerintah Indonesia. Versi demikian juga terang-terangan menyematkan gelar pengkhianat bangsa, akibat peran antagonis yang -sengaja- dilakoninya saat VOC berseteru dengan Kerajaan Gowa (Perang Makassar, 1666 – 1669). Sekitar empat abad lalu, Arung Palakka, Gowa, VOC, berperang demi kepentingan bangsanya masing-masing. Masa dimana Indonesia bahkan sebagai sebuah kata, belum pula lahir. Fakta sejarah ini terang benderang menolak keikutsertaan pemerintah Indonesia -di kemudian hari- untuk memberi tafsir, sebab menurut diktum sejarahwan JC Van Leur ; masa lalu tidak ditulis untuk dinilai dengan nilai masa kini.


Sering kali peringatan hari kemerdekaan oleh satu negara-bangsa, lebih menyerupai pesta perayaan atas kegetiran masa penjajahan. Mengorek luka-luka silam dipandang ampuh menjaga tetap awetnya kerekatan sebuah negara-bangsa merdeka. Dalam konteks Indonesia, dirgahayu kemerdekaan juga menjadi momentum pemerintah untuk mereproduksi -sekali lagi- perasaan senasib-sependeritaan satu bangsa yang dulu pernah dijajah oleh; Belanda. Dengan kata lain, citra Belanda sebagai musuh bersama cenderung lebih signifikan peranannya dibanding makna kemerdekaan itu sendiri dalam menjaga kelestarian imaji keIndonesiaan di sanubari seluruh warga negara.

Perspektif Belanda sebagai musuh bersama pula yang melatarbelakangi kebijakan pemerintah dalam menciptakan ikon-ikon kepahlawanan. Figur-figur masa pra-kemerdekaan dari seluruh pelosok nusantara yang terbukti pernah menentang kolonialisme Belanda diidentifikasi. Hasilnya adalah figur-figur yang hari ini kita sebut pahlawan nasional. Celakanya, proses identifikasi yang dilakukan oleh pemerintah kerap menelikung fakta sejarah -biar bagaimanapun, sejarah bangsa (mengutip Filsuf Jerman Walter Benjamin) adalah sejarah penguasa. Lewat penulisan sejarah, para penguasa ingin mengabadikan kekuasaan-. Pemerintah seperti sengaja memasukkan juga rentang waktu sebelum lahirnya bangsa Indonesia kedalam proses penemuan figur-figur kepahlawanan.

Sejarah mencatat Bangsa Belanda telah hadir di Nusantara jauh sebelum bangsa Indonesia lahir. Kala itu, nusantara masih dikuasai oleh banyak negara-bangsa berdaulat. Banyak terjadi peperangan di masa itu antara pihak Belanda yang berwatak imperialis dengan bangsa-bangsa pribumi di Nusantara. Meski sama-sama melawan Belanda, tak satupun kerajaan/kesultanan di Nusantara berperang atas nama Indonesia. Mereka melawan Belanda atas nama bangsa masing-masing (Goa-tallo, Demak, Ternate, dll), dengan motif berbeda-beda. Faktanya, secara umum motif peperangan adalah persaingan dagang. Jadi Pemerintah bisa terjebak bila menggeneralisasi motif peperangan sebagai upaya menampik penjajahan Belanda belaka. Ada kasus-kasus tertentu yang tidak hanya melibatkan dua pihak –Belanda vs pribumi-, tetapi juga melibatkan pribumi versus pribumi, dimana Belanda menjadi sekutu dari salah satu pihak.
Pada Perang Makassar, Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka bersekutu dengan Belanda untuk melawan Kerajaan Gowa. Pilihan yang sangat rasional mengingat Kerajaan Bone (Bangsa Bugis) saat itu tengah berada dalam cengkeraman penjajahan Kerajaan Gowa. Arung Palakka dalam kedudukannya sebagai pemimpin, pewaris tahta Kerajaan Bone – dari Kakeknya Raja Bone Ke- XI yang pertama memeluk Islam, La Tenri Ruwa Sultan Adam-. tak punya pilihan selain menempuh segala upaya guna merebut kembali kemerdekaan bangsanya (No nation is good enough to govern another nation),Termasuk upayanya mencari sekutu.

Di umur 11 tahun Arung Palakka menyaksikan sendiri Kerajaan Bone harus menanggung kekalahan dalam Beta Passempe’ (kekalahan di Passempe’) melawan kerajaan Gowa. Seluruh keluarga kerajaan termasuk dirinya (pewaris tahta kerajaan) diseret sebagai tahanan ke Ibukota kerajaan Gowa. Di usia 30-an tahun dia menyaksikan sepuluh ribu lebih rakyat Bone dijadikan penggali parit benteng pertahanan kerajan Gowa yang tengah bersiap memerangi Belanda. Siang malam, tanpa cukup makanan dan obat-obatan, rakyatnya bekerja dibawa dera cambuk penjaga yang kejam. Bahkan ayahnya, La Pottobune Datu Lompulle yang tidak tahan melihat kekejian itu, lalu mengamuk dan menewaskan beberapa prajurit Gowa, akhirnya dibunuh dengan cara dipukul memakai alu -karena besi enggan melukai tubuhnya-.

Derita sebagai bangsa terjajah membulatkan tekad Arung Palakka untuk bangkit melakukan perlawanan. Dengan talenta kepemimpinannya, ia mengorganisir 10.000 rakyatnya berhasil melarikan diri kembali ke negeri Bone. Sempat terjadi peperangan dua kali dalam pelarian itu. Namun balatentara Kerajaan Gowa yang besar & terlatih bukan tandingan rakyat Bone. Kondisi itu memaksa Arung Palakka mengambil keputusan berlayar menuju negeri Batavia. Di sana, dia mendengar para pedagang bangsa Belanda yang tergabung dalam Verenigde oos-indische Compagnie (VOC) -perusahan Hindia Timur Belanda yang didirikan tahun 1602- sedang mempersiapkan perang besar melawan Kerajaan Gowa demi memperebutkan jalur perdagangan rempah-rempah lansung dari sumbernya (Maluku). Menurut Arung Palakka, musuh lawanku adalah temanku. Belanda dan kerajaann Gowa akan berperang demi rempah-rempah. Arung Palakka demi kemerdekaan bangsanya.

Taktik Arung Palakka analog dengan taktik Raden Wijaya yang memanfaatkan jasa tentara Mongol untuk mengalahkan musuhnya, raja Daha (Jayakatwang) di tahun 1293, guna merebut kembali tahta Singhosari. Demikian pula Arung Palakka ‘memperalat’ Belanda. Bersama Cornelis Janszoon Speelman, laksamana VOC, mereka berhasil menundukkan benteng Somba Opu dan memaksa Raja Gowa ke – XV, I Mallombassi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Manngappe bergelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana menandatangani perjanjian Bungaya. Belanda berhasil menguasai jalur perdagangan rempah-rempah. Arung Palakka berhasil memerdekakan Kerajaan Bone (bangsa Bugis) dari penjajahn Gowa.

Motif Kerajaan Gowa berperang dengan Belanda adalah demi menjaga dominasinya atas jalur perdagangan rempah-rempah yang selama ini menjadi tumpuan devisa kerajaan Gowa. Sementara Arung Palakka berperang demi menegakkan kemerdekaan bangsanya. Tapi sebagaimana dikemukakan di awal tadi, citra Belanda sebagai musuh bersama terlanjur dijadikan parameter pemerintah hari ini dalam menafsir ulang sejarah kebangsaan. Sultan Hasanuddin pun akhirnya dinobatkan menjadi pahlawan nasional berdasarkan Skep Pres No 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Sebaliknya, nasib Arung Palakka bisa anda baca sendiri pada setiap teks sejarah versi pemerintah; Pengkhianat bangsa.
Bangsa baru (Indonesia) telah diciptakan. Sejarah mesti ditafsir ulang. Kronik sejarah heroisme bangsa–bangsa sebelumnya harius disisihkan demi menjaga kelanggenan kekuasaan bangsa baru tersebut. Bila perlu, pemerintah boleh merekonstruksi sejarah untuk melahirkan sosok pahlawan bangsa. Hanya jangan lupa, Arung Palakka adalah – pahlawan sesungguhnya dalam hidup orang Bugis- yang telah berhasil menciptakan sejarahnya sendiri.
Pahlawan yang melahirkan sejarah atau sejarah yang melahirkan pahlawan? Mohon petunjuk.


Rusdianto. Peminat blog social media. Aktif menulis flash fiction & cerpen di blog pribadinya www.antojournal.com serta artikel resensi buku fiksi & tips menulis fiksi di www.indonovel.com. Sekarang berdomisili di Makassar.